Abad pertengahan adalah masa di mana gereja tampak kokoh dari luar, namun perlahan kehilangan jiwanya. Katedral menjulang megah, lonceng gereja berdentang setiap hari, liturgi dijalankan dengan penuh kemegahan, namun di balik itu semua, suara kasih Injil hampir tak terdengar lagi. Gereja yang seharusnya menjadi tempat orang berdamai dengan Allah, justru menjadi tempat orang menukar rasa bersalah dengan uang, dan menukar keselamatan dengan perbuatan.
Masa itu dikenal sebagai masa ketika otoritas gereja melampaui batas yang semestinya. Kekuasaan rohani bercampur dengan kekuasaan politik. Jabatan gerejawi bisa dibeli, dan jabatan rohani sering dijadikan alat untuk memperkaya diri. Bahkan pengampunan dosa, sesuatu yang hanya milik Allah, dijadikan alat transaksi melalui surat-surat indulgensi. Orang diajarkan bahwa penderitaan di api penyucian bisa dipersingkat dengan membayar sejumlah uang. “Begitu koin jatuh ke peti, jiwa melompat keluar dari purgatorium,” begitu kata para pengkhotbah indulgensi. Kalimat itu terdengar saleh, tetapi di baliknya ada kebusukan yang menyedihkan.
Manusia kehilangan gambaran sejati tentang Allah. Ia takut pada-Nya, tetapi tidak mengenal kasih-Nya. Ia berdoa dengan bibir, tetapi hatinya hampa. Ia mendengar nama Kristus, tetapi mengenalnya hanya sebagai simbol penghukuman, bukan sebagai Juruselamat. Kebenaran Injil yang murni perlahan terkubur di bawah timbunan tradisi dan dogma manusia.
Dalam suasana batin yang gelap itu, lahirlah seorang biarawan muda dari Jerman bernama Martin Luther. Ia bukan pemberontak, bukan pula politikus, melainkan seorang jiwa yang gelisah di hadapan Allah. Sebagai anggota ordo Agustinus, Luther hidup dalam ketertiban dan doa, namun ia dikejar rasa bersalah yang tak pernah reda. Ia menyiksa dirinya dengan puasa, dengan penyesalan, dengan doa berjam-jam, berusaha mencapai kesucian yang tidak pernah ia capai.
Luther takut akan Allah, namun ia belum mengenal-Nya. Ia melihat Allah sebagai hakim yang menuntut kesempurnaan, bukan sebagai Bapa yang memberi anugerah. Di saat itulah ia mulai meneliti Kitab Suci, mencari penghiburan dari setiap halaman. Dan di dalam Surat Paulus kepada jemaat di Roma, matanya terbuka oleh satu ayat yang kelak mengubah dunia:
✓ “Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: orang benar akan hidup oleh iman.”
Ayat itu, Roma 1:17, menjadi titik balik dalam sejarah iman Kristen. Luther semula membenci kata “kebenaran Allah” karena ia mengira itu berarti keadilan yang menuntut hukuman bagi pendosa. Namun suatu hari, dalam pergumulan panjang di menara biaranya di Wittenberg, Roh Kudus menyingkapkan makna baru. Ia menyadari bahwa “kebenaran Allah” bukanlah tuntutan, melainkan pemberian. Allah tidak menuntut manusia untuk menjadi benar, melainkan Ia menganugerahkan kebenaran itu melalui iman kepada Kristus.
Luther menulis, “Saat aku memahami hal ini, seakan-akan pintu surga terbuka bagiku, dan aku masuk ke dalamnya.” Di sanalah lahir pemahaman yang menjadi inti Reformasi, bahwa manusia dibenarkan bukan oleh perbuatannya, melainkan oleh iman kepada Kristus saja.
Luther tidak bermaksud memecah gereja, ia hanya ingin memulihkan Injil. Namun ketika kebenaran dihadapkan pada kekuasaan yang korup, benturan tak terhindarkan. Tahun 1517, ia menempelkan 95 Dalil di pintu gereja Wittenberg, bukan sebagai perlawanan, tetapi sebagai undangan berdiskusi tentang kebenaran Injil. Namun dari sana, api kecil itu membesar menjadi nyala yang mengubah wajah dunia Kristen.
Reformasi lahir bukan dari ambisi manusia, melainkan dari kehausan akan kebenaran yang sejati. Luther ingin membawa gereja kembali kepada Firman, kembali kepada Injil, kembali kepada kasih karunia. Ia menolak segala bentuk keselamatan yang didasarkan pada usaha manusia, sebab baginya keselamatan adalah karya Allah semata. Dari sana lahir semboyan yang mengguncang dunia: Sola Fide, Sola Gratia, Sola Scriptura, Solus Christus, Soli Deo Gloria.
Namun Reformasi tidak berhenti di Wittenberg, melainkan berlanjut ke Jenewa, tempat seorang pemikir muda bernama Yohanes Calvin memperdalam nyala itu dalam ketertiban dan pemikiran yang jernih. Jika Luther memukul pintu gereja dengan palu protes, maka Calvin menulis dengan pena yang menata. Ia menyalurkan semangat Reformasi ke dalam bentuk yang teratur, mendalam, dan berakar dalam Firman.
Calvin menulis dalam Institutio Christianae Religionis bahwa hampir seluruh isi hikmat manusia terdiri dari dua hal, pengenalan akan Allah dan pengenalan akan diri. Ia melihat, manusia tidak akan pernah benar-benar mengenal dirinya sebelum ia menatap kemuliaan Allah, sebab hanya di hadapan Allah yang kudus manusia menyadari ketidakberartiannya. “Ketika manusia menatap Allah,” tulis Calvin, “ia melihat dirinya telanjang, hina, dan penuh kekurangan.”
Calvin menegaskan bahwa keselamatan bukan hasil upaya moral, bukan hasil ritual, melainkan karya kasih karunia Allah. Bagi Calvin, iman sejati bukan sekadar keyakinan di mulut, tetapi penyerahan total dari hati yang sadar bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan untuk Allah. Dari sini lahirlah semangat soli Deo gloria, sebab segala kemuliaan hanya milik Allah.
Dari Luther kita belajar tentang kebebasan hati nurani di bawah Firman, dari Calvin kita belajar tentang kedaulatan Allah atas seluruh kehidupan. Luther menyalakan api, Calvin menjaga nyalanya agar tidak padam, dan keduanya mengalir seperti dua sungai yang menuju satu samudra yang sama, samudra kasih karunia dan kebenaran Allah.
Reformasi bukan sekadar peristiwa sejarah abad keenam belas, melainkan cermin bagi setiap zaman ketika gereja mulai kehilangan pusatnya. Setiap kali gereja lebih sibuk mempertahankan tradisi daripada kebenaran, setiap kali ibadah kehilangan makna dan iman berubah menjadi kebanggaan, di sanalah Reformasi harus lahir kembali.
Sebab Reformasi sejati tidak berhenti pada nama Luther atau Calvin, tetapi pada panggilan yang terus hidup di setiap hati yang mau diperbarui. Ia hidup dalam setiap jiwa yang berani kembali kepada Firman, setiap pikiran yang mau ditundukkan kepada kebenaran, dan setiap gereja yang mau berlutut di bawah salib Kristus.
Reformasi adalah napas yang menghidupkan kembali kesadaran bahwa manusia diselamatkan bukan karena ia layak, melainkan karena Allah mengasihi. Ia mengingatkan bahwa gereja sejati bukanlah gedung, bukan sistem, melainkan tubuh yang hidup oleh kasih dan kebenaran.
Reformasi juga menegaskan bahwa kasih karunia tidak boleh menjadi alasan untuk hidup sembarangan, melainkan kekuatan untuk hidup dalam ucapan syukur. Anugerah bukan pembenaran bagi dosa, tetapi panggilan untuk berubah.
Dan mungkin, hari ini, Reformasi itu sedang mengetuk hati kita juga, mengingatkan bahwa iman yang sejati bukan tentang siapa yang paling benar, melainkan siapa yang paling rendah hati di hadapan Allah. Ia memanggil kita untuk berhenti membangun menara rohani bagi diri sendiri, dan kembali berlutut di kaki salib, tempat di mana semua manusia sama, tempat di mana semua kebanggaan runtuh, tempat di mana kita diselamatkan semata-mata oleh kasih karunia, dan hidup hanya untuk kemuliaan Allah.
Selamat Hari Reformasi Gereja,
semoga kasih karunia dan kebenaran Kristus terus membaharui pikiran, hati, dan arah hidup kita.
Dari hati yang mau diperbarui, lahirlah gereja yang sejati ~ Ecclesia Reformata, semper reformanda ~
Gereja yang telah diperbarui dan terus diperbarui oleh Roh Kudus.
Salam dari kami,
veritasinspirasi.com
Soli Deo Gloria
