Oleh : Beny Takumau
Renungan Paskah : Batu Yang dipotong Bukan dari Tangan Manusia
“Sedang engkau melihatnya, terungkitlah sebuah batu, bukan oleh tangan manusia, yang menghantam patung itu pada kakinya yang dari besi dan tanah liat itu, sehingga remuk. Lalu dengan sekaligus diremukkanlah besi, tanah liat, tembaga, perak dan emas itu, semuanya menjadi seperti sekam di tempat pengirikan pada musim panas, lalu angin menghembuskannya sehingga tidak ditemukan bekas-bekasnya lagi. Tetapi batu yang menghantam patung itu menjadi gunung besar yang memenuhi seluruh bumi.”
– Daniel 2:34-35
Kita hidup di dunia yg sibuk membangun. Bangunan ideologi. Bangunan popularitas. Bangunan karier. Bahkan bangunan pelayanan. Tapi satu pertanyaan ini sering kita hindari: apa yg kita bangun akan bertahan sampai akhir?
Daniel pernah melihat sebuah patung besar—indah, berkilau, dan kokoh secara tampak luar. Tapi kemudian, datang sebuah batu kecil. Ia tdk dipotong oleh tangan manusia. Ia datang dgn arah yg tak terduga. Dan ia menghancurkan segalanya. Patung itu, meski disusun dari emas, perak, tembaga, besi, dan tanah liat, hancur menjadi debu. Dan debu itu diterbangkan angin. Hilang tanpa bekas.
Tapi batu itu? Ia tumbuh. Menjadi gunung. Menjadi kerajaan. Menjadi kekekalan.Patung itu bukan hanya lambang kerajaan duniawi. Ia juga simbol dari segala sesuatu yg tampak mengagumkan tapi berdiri di atas keangkuhan manusia. Ia indah—tapi palsu. Kokoh—tapi rapuh. Ia menyatukan emas dan tanah liat, sesuatu yg secara logika tdk mungkin bertahan lama. Begitu pula hidup kita saat mencampur kemegahan dgn kompromi. Kita bangun prestise di atas kecemasan. Kita bangun pelayanan di atas ambisi. Tapi semua itu, seperti patung itu, tinggal tunggu waktu sebelum runtuh.
Lalu datanglah batu itu—Yesus, yg bukan hasil karya tangan manusia. Bukan hasil kebudayaan. Bukan produk tradisi. Tapi utusan dari kekekalan. Batu itu menghantam bukan demi kekerasan, tapi demi pemurnian. Ia merobohkan agar bisa membangun. Ia menghancurkan supaya kita sadar, bahwa satu-satunya dasar yg kekal adalah Dia sendiri.
Batu itu tdk besar waktu datang. Ia kecil. Mungkin diremehkan. Tapi justru dari situlah kekuatannya—karena Kerajaan Allah tdk datang dgn cara dunia. Ia datang lewat palungan, lewat salib, lewat luka. Tapi justru dari tempat yg hina itu, muncul kekuatan yg tdk bisa dihancurkan oleh waktu atau kuasa apa pun.
Di mana kita berdiri hari ini? Di atas patung buatan tangan manusia? Atau di atas batu yg datang dari Allah?
Kekristenan tdk dimulai dari usaha manusia mencari Allah. Tapi dari Allah yg datang mencari manusia. Agama lain mengajarkan usaha, tahapan, syarat, dan pencapaian. Tapi batu ini—Yesus—datang dari atas. Ia tdk dibentuk oleh tangan manusia. Dan keselamatan pun tdk bisa diraih dgn usaha manusia. “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah” (Ef. 2:8).
Yesus pernah berkata, “Runtuhkan Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (Yoh. 2:19). Mereka tertawa. Mereka pikir Ia bicara soal bangunan batu. Tapi Yesus bicara tentang diri-Nya. Tubuh-Nya adalah bait sejati. Ia adalah batu sejati. Batu yg pernah ditolak tukang bangunan. Tapi justru jadi batu penjuru (1 Ptr. 2:6-7).
Batu itu pernah dihancurkan di kayu salib. Tapi batu itu bangkit. Pada hari ketiga. Ia bukan cuma menghancurkan, tapi juga membangun. Ia menghancurkan kuasa dosa. Kuasa maut. Dan semua struktur dunia yg berakar pada ego manusia. Tapi Ia juga membangun: sebuah kerajaan yg tak tergoyahkan. Bukan kerajaan yg datang dgn propaganda. Tapi kerajaan yg datang lewat salib, darah, dan kasih.
Hari ini, banyak orang sibuk membangun ‘kerajaan rohani’ atas nama Yesus, tapi di atas dasar duniawi: pencitraan, kekuasaan, kesuksesan. Padahal, batu itu tdk dibentuk oleh tangan manusia. Dan kerajaan-Nya pun tdk bisa dibentuk oleh tangan manusia.
Paskah bukan sekadar perayaan. Ia adalah pengingat: bahwa satu-satunya bangunan yg akan bertahan adalah yg dibangun di atas Kristus—batu itu. Bukan batu yg kita bentuk, tapi batu yg membentuk kita.
Kadang kita pikir, semakin banyak yg kita lakukan untuk Tuhan, semakin kita diterima. Kita ikut kegiatan ini, bantu pelayanan itu, bahkan rela capek untuk kegiatan gereja. Tapi lalu kita sadar: semua itu bisa dilakukan tanpa benar-benar berdiri di atas Batu itu. Kita bisa sibuk bekerja untuk Tuhan, tapi hati kita masih berdiri di atas prestasi, pengakuan, atau citra diri.
Seorang anak kecil pernah membangun istana pasir di tepi pantai. Ia kerjakan dgn penuh semangat. Ia bentuk menara, hias gerbangnya, bahkan beri bendera dari sedotan es krim. Tapi sore harinya, ombak datang dan menghanyutkan semuanya. Anak itu menangis. Tapi ayahnya datang, angkat dia, dan ajak dia naik ke batu besar di atas tebing. “Di sini,” kata sang ayah, “kau bisa bangun lagi. Tapi kali ini, bangunlah di atas batu.”
Kita semua seperti anak kecil itu. Kita bangun hidup di atas sesuatu yg kita kira kuat—tapi ternyata rapuh. Hanya batu itu—Kristus—yg tdk tergoyahkan. Keselamatan tdk datang karena kita membangun hidup yg sempurna, tapi karena kita berdiri di atas dasar yg benar. Kita selamat bukan karena kita kuat berpegang, tapi karena batu itu kuat menopang.
Paskah mengingatkan kita: batu itu sudah datang. Ia telah dihancurkan, tapi bangkit kembali. Ia tdk dibentuk oleh tangan manusia, maka tdk bisa dihancurkan oleh kekuatan manusia. Dan Ia datang bukan utk mencari usaha terbaik kita, tapi utk menawarkan kasih-Nya kepada mereka yg percaya.
Hari ini, mungkin hidup kita belum sempurna. Mungkin kita masih jatuh, masih salah langkah. Tapi selama kita berdiri di atas batu itu, kita tetap dalam tangan-Nya. Ia adalah batu yg hidup, dan siapa pun yg percaya kepada-Nya tidak akan dipermalukan.
Selamat merayakan Paskah 2025.
Kiranya Sang Batu Penjuru menjadi dasar hidup kita yang tak tergoyahkan, hari ini dan selama-lamanya.
Salam kasih dari segenap tim VeritasInspirasi.com
Soli Deo Gloria