Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Empati: Menyelam ke Dalam Luka Orang Lain

Minggu, 27 April 2025 | April 27, 2025 WIB Last Updated 2025-04-29T17:00:02Z

 


Empati: Menyelam ke Dalam Luka Orang Lain


Beny Takumau


Empati adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan terkadang ikut merasakan apa yang orang lain alami. Dalam psikologi, kita mengenal dua jenis empati: empati kognitif, di mana kita mampu memahami perasaan orang lain, dan empati emosional, di mana kita merasakan apa yang mereka rasakan. Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence, mengatakan bahwa empati adalah salah satu kunci untuk membangun hubungan yang bermakna. Tanpa empati, kita akan sulit untuk terhubung secara emosional dengan orang lain.


Namun, empati juga memiliki batasan. Menurut C. Daniel Batson dalam The Altruism Question, meskipun kita bisa merasa kasihan pada penderitaan orang lain, ada titik di mana perasaan ini bisa menyebabkan kelelahan emosional. Ketika kita terlalu dalam berempati, tanpa pengendalian diri, kita bisa merasa tertekan, kehabisan tenaga, dan kehilangan kemampuan untuk membantu. Ini adalah fenomena yang dikenal sebagai keletihan empatik. Menurut Kristin Neff, jika kita tidak menjaga keseimbangan antara merasakan kesulitan orang lain dan merawat diri kita sendiri, kita bisa mengalami gangguan mental atau emosional.


Dalam konteks ini, kita sebagai manusia terbatas. Ada batasan-batasan psikologis dan emosional yang membuat kita tidak mampu sepenuhnya merasakan atau menanggung penderitaan orang lain tanpa merasa tertekan. Ini adalah realita dari keterbatasan kita sebagai manusia. Namun, jika kita melihat kepada Yesus, empati-Nya melampaui batasan ini.


Yesus menunjukkan bentuk empati yang tak tertandingi. Dalam Yesaya 53:4-5, dikatakan bahwa penyakit dan kesengsaraan kita semua dipikul oleh-Nya. Kita bisa membayangkan betapa beratnya beban ini. Secara psikologis, adalah hal yang sangat sulit bagi manusia untuk menanggung beban penderitaan seluruh umat manusia tanpa hancur. Bahkan mereka yang memiliki empati tinggi sekalipun, akan sangat kelelahan dan bisa jatuh ke dalam keletihan emosional. Tetapi Yesus tidak pernah berhenti memberikan kasih-Nya, bahkan sampai mengorbankan diri-Nya di kayu salib.


Yesus tidak hanya merasakan penderitaan orang lain, tetapi Dia menanggungnya secara langsung. Dalam Ibrani 4:15 dikatakan bahwa Yesus sebagai Imam Besar kita, bukanlah imam yang tidak dapat turut merasakan kelemahan kita. Dia tidak hanya melihat penderitaan, tetapi Dia memasuki penderitaan itu bersama kita. Dalam Matius 14:14, dikatakan bahwa hati-Nya tergerak oleh belas kasihan ketika melihat orang banyak yang lapar dan lelah. Namun yang lebih menakjubkan lagi, Yesus terus menerus memberi tanpa lelah. Dalam kehidupan manusia biasa, kita tidak mampu untuk terus memberi tanpa batas seperti itu.


Empati Yesus, yang membawa-Nya untuk menanggung dosa-dosa kita, adalah sesuatu yang tidak bisa dipahami dengan kapasitas empati manusia. Seorang psikolog, Decety dan Jackson, mengatakan bahwa empati tinggi tanpa kontrol bisa menyebabkan kerusakan pribadi, tetapi kasih Kristus justru membawa penyembuhan dan kehidupan. Ini adalah bentuk kasih yang melampaui kemampuan kita untuk mengerti atau merasakannya.


Refleksi kita sebagai orang Kristen, ketika merenungkan empati Kristus, adalah bahwa kita dipanggil untuk meniru-Nya, meski kita tahu kita tidak bisa seutuhnya. Kita dipanggil bukan untuk menjadi penyelamat, tetapi untuk menjadi saksi dari kasih-Nya yang luar biasa. Setiap kali kita berempati dengan orang lain, kita diingatkan bahwa kasih yang kita tunjukkan kepada mereka adalah cerminan dari kasih Kristus yang pertama-tama datang kepada kita.


Dalam kehidupan sehari-hari, saat kita melihat orang lain menderita, kita mungkin merasa kasihan dan ingin membantu. Tetapi kita harus ingat bahwa empati kita harus terukur, karena kita juga harus merawat diri kita sendiri. Namun, dalam langkah-langkah kecil yang kita ambil untuk memberi perhatian, mendengarkan, dan menunjukkan kasih kepada orang lain, kita ikut dalam jejak Kristus yang tanpa batas itu. Luka orang lain bukanlah beban, tetapi sebuah kesempatan untuk menunjukkan kasih yang telah kita terima dari-Nya.


Kasih yang dimiliki Yesus adalah kasih yang tidak mengenal batas. Meskipun kita tidak bisa sepenuhnya menghayati kedalaman empati seperti yang Yesus tunjukkan, kita dipanggil untuk terus mengasihi, untuk terus memberi, bahkan ketika kita merasa lelah. Karena dalam memberi, kita mengingatkan diri kita akan kasih yang lebih besar yang telah diberikan kepada kita. Seperti yang tertulis dalam Yohanes 15:13, "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." Empati Kristus tidak hanya membuka jalan bagi kita untuk mengasihi sesama, tetapi juga mengundang kita untuk menemukan kekuatan yang datang dari-Nya untuk terus memberi tanpa lelah. Kita dipanggil untuk memberi, bukan karena kita mampu dengan kekuatan kita sendiri, tetapi karena kita diberi kasih yang tak terhingga dari Tuhan yang telah memberi segalanya bagi kita.


Soli Deo Gloria 


×
Berita Terbaru Update