Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Alusi: Bahasa Bayang-Bayang yang Menuntun pada Terang

Kamis, 10 April 2025 | April 10, 2025 WIB Last Updated 2025-04-11T05:31:50Z


Renungan Pra Paskah--Yohanes 1:29

Oleh: Beny Takumau


"Lihatlah Anak Domba Allah, yg menghapus dosa dunia." --Yohanes 1:29


Dalam dunia sastra, alusi adalah rujukan tak langsung kepada tokoh, peristiwa, atau simbol yg dimaksudkan untuk memperdalam makna tanpa harus menjelaskannya secara eksplisit. Alusi mengandalkan pengenalan bersama antara penulis dan pembaca akan sesuatu yg telah dikenal sebelumnya. Dalam Kitab Suci, alusi bukan sekadar gaya sastra, tapi cara Allah menyampaikan kebenaran kekal lewat bayang-bayang perjanjian lama yg digenapi dalam pribadi Yesus Kristus.


Bayang-bayang tentang Anak Domba sudah membentang sejak halaman-halaman awal Kitab Kejadian. Ketika Habel mempersembahkan korban dari anak sulung kambing dombanya dan Tuhan berkenan atasnya, kita melihat jejak pertama: bahwa pengorbanan hidup dari yg tdk bercela lebih berkenan daripada hasil usaha manusia semata. Sebaliknya, persembahan Kain, meski tampaknya wajar, adalah lambang dari agama yg dibangun di atas kekuatan dan kehendak diri.


Lalu muncullah gunung Moria. Ketika Ishak bertanya, “Di manakah anak domba untuk korban bakaran?” dan Abraham menjawab, “Allah yg akan menyediakan,” di situlah alusi mulai berbicara keras. Anak manusia yg harus dikorbankan digantikan oleh seekor domba jantan yg tanduknya tersangkut semak. Tapi perhatikan: domba itu tdk disediakan oleh manusia. Bukan Abraham yg mencari, tapi Allah yg menunjukkan. Sebuah pola sedang ditanam: keselamatan bukan hasil upaya, tapi penyediaan.


Di tanah Mesir, malam Paskah pertama, darah anak domba di ambang pintu menjadi garis pemisah antara hidup dan maut. Ini bukan hanya pelindung fisik, tapi tanda identitas: siapa yg berada di bawah perlindungan darah, dia dilewati oleh penghukuman. Darah itu bukan untuk dilihat manusia, tapi untuk dilihat oleh Tuhan (Kel. 12:13). Lagi-lagi, alusi itu makin mengerucut: yg menyelamatkan bukan usaha atau kelayakan, tapi lambang penebusan.


Sepanjang Perjanjian Lama, ritual korban terus bergulir. Ribuan domba disembelih, asap naik ke langit, darah mengalir di bait. Tapi tdk satu pun bisa benar-benar menghapus dosa. Mereka semua hanyalah bayang-bayang dari yg akan datang. Alusi makin padat, makin tdk tertahankan, sampai akhirnya Yohanes Pembaptis berkata, “Lihatlah Anak Domba Allah, yg menghapus dosa dunia!” (Yoh. 1:29). Kata “lihatlah” bukan sekadar ajakan visual, tapi perintah eksistensial: buka matamu, ini klimaks dari segala bayangan itu.


Yesus bukan hanya Anak Domba yg dibawa ke pembantaian tanpa membuka mulut (Yes. 53:7), tapi Dia juga Anak Domba yg bangkit dan memerintah. Dalam Wahyu, Dia disebut 28 kali sebagai “Anak Domba”--bukan sekadar lambang kelembutan, tapi simbol kekuasaan dalam kerendahan. Ironi surgawi itu begitu kuat: bahwa takhta surga dijaga bukan oleh singa yg mengaum, tapi oleh domba yg disembelih.


Alusi ini menantang pola dunia: bahwa kemenangan sejati bukan dalam dominasi, tapi dalam pengorbanan. Bahwa kuasa Allah tdk dinyatakan dalam pasukan, tapi dalam luka. Bahwa keselamatan tdk diraih oleh yg kuat, tapi diberikan kepada yg percaya. Dunia menjual kekuatan lahiriah, pencitraan, dan posisi. Tapi Anak Domba berdiri di pusat kekekalan, bukan karena Ia gagah, tapi karena Ia setia sampai titik darah terakhir.


Kita hidup di tengah sistem nilai yg bertentangan dengan alusi ini. Maka tdk heran kalau hidup yg mencerminkan Anak Domba seringkali tampak bodoh, kalah, atau bahkan gagal. Tapi justru di situlah nilai kekekalan muncul: dalam pilihan yg tdk populer tapi taat, dalam kasih yg tdk dihitung untung rugi, dalam kesetiaan yg tdk menuntut panggung. Dalam alusi hidup, kita tdk menjual diri kita--kita menunjuk ke Pribadi yg lebih besar dari kita.



--


Dan mungkin, tanpa kita sadari, hidup kita sedang dibaca orang lain…

sebagaimana kita membaca simbol-simbol dalam Kitab Suci.


Anak kita memperhatikan cara kita bicara,

tetangga mengingat cara kita bersikap,

Orang-orang di sekitar kita mencatat dalam diam,

dan bahkan orang asing bisa menangkap sesuatu dari sorot mata kita.


Mereka mungkin tdk hafal ayat,

tdk pernah ikut PA,

tdk tahu istilah teologis…

tapi mereka tahu saat ada seseorang yg benar-benar hidup dengan kasih.

Yg mengampuni walau punya alasan untuk marah.

Yg tetap setia saat semua orang pergi.

Yg tetap lembut saat hidup terasa kasar.


Dan di titik itu, mereka bertanya dalam hati,

walau mulut mereka diam:

“Kenapa dia tdk seperti kebanyakan orang?”

“Apa yg bikin dia bertahan, padahal hidupnya juga berat?”

“Apa yg bikin dia tetap tersenyum… meski jelas ia sedang terluka?”


Dan semestinya, tanpa banyak kata,

jawaban itu hadir dari cara kita hidup:

“Karena aku mengenal Anak Domba itu.”


Bukan cuma ajaran yg kita tahu.

Bukan cuma lagu yg kita nyanyikan.

Tapi Pribadi yg kita ikuti…

dalam sepi, dalam luka, dalam kesetiaan kecil sehari-hari.


Percaya kepada Anak Domba itu bukan soal menang debat.

Tapi soal memilih jalan yg tdk populer.

Jalan yg sunyi,

yg kadang membuat kita merasa sendirian,

tapi itulah jalan yg menuntun pada hidup sejati.


Kita tdk perlu sempurna.

Tapi kita dipanggil untuk nyata.

Untuk jadi saksi yg tdk bersuara keras,

tapi bersinar lembut.


Dan saat dunia akhirnya melihat,

semoga mereka tdk melihat nama kita,

tdk memuji kekuatan kita,

tapi menangkap kehadiran-Nya dalam cara kita mencintai.


Saat itulah kita bisa berkata--bukan dengan mulut,

tapi dengan hidup yg diam-diam berdarah dan tetap setia:

“Lihatlah Anak Domba Allah…”Yg disembelih--bagi dunia, bagi mereka, bagi kita.


Dan semoga setiap jejak langkah kita,

setiap air mata yg jatuh dalam doa,

setiap pengorbanan kecil yg tersembunyi,

menjadi jendela kecil tempat orang lain bisa mengintip kekudusan.


Soli Deo Gloria.

×
Berita Terbaru Update